أهلا وسهلا بحضوركم محلنا...

Selasa, 27 Desember 2011

"....Indahkan Saja Perbedaan Itu.......".


Beragama Dengan Santun


Kita sepakat bahwa siapapun yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat adalah muslim dan berhak mendapatkan surga sebagaimana yang dijanjikan dalam Al quran. Tapi permasalahannya justru muncul, ketika kita yang sama-sama telah bersyahadat ini kemudian sedikit terusik ketika tiba-tiba kalimat yang merupakan penggalan dari sebuah hadits yang sahih.... “wasyarrul umuuri muhdatsatuha wakullu muhdatsatin bid’atun, wakullu bid’atin dolalatun wakullu dholalatin finnari” yang jika secara harfiah kita artikan, maka tak pelak cap “syirk, mubtadi’, bahkan lebih sadis lagi mengatakan kafir fil i’tiqad” seakan berhamburan begitu saja menohok dan seolah-olah “finnar” langsung menyerbak ke semua umat Islam yang tidak seperti “pemahaman” yang mungkin tidak sejalan dengan anda selama ini.
Patutkah kita dengan tergesa-gesa, dengan tanpa merasa bersalah langsung menyimpulkan bahwa “ di nerakalah” tempatnya?. Sebuah sikap yang sangat arogan, jauh dari nilai luhur Islam dan jika kita termakan oleh pola pikir semacam itu maka tidak mustahil lambat laun akan ada “jarak” bahkan ketidakharmonisan dalam kita berukhuwwah sesama muslim. Belum lagi yang jelas-jelas secara kasat mata tiba-tiba tanpa terasa perbedaan tampilan terluar fisik kitapun sudah mulai kentara.
Contoh kecil yang sudah jamak terlihat misalnya, yang satu berdagu bersih dan mencukur janggutnya tanpa sisa sedangkan yang satunya sangat mempertahankan rambut-rambut itu tumbuh di dagunya. Ada yang hanya tipis, lalu ada juga yang seukuran genggaman tangan, bahkan ada yang begitu sangat lebatnya. Lalu yang satu lagi memakai celana panjang dengan mata kaki tertutup, kemudian yang lainnya memotong hingga diatas mata kaki bahkan sampai di pertengahan betis kakinya. Berbagai argument tentu berdatangan dan silih berganti menghiasi ketidaksamaan “tampilan dzahir” ini. Bagi yang berdagu dihiasi janggut akan mengatakan, “ini ada haditsnya”, “kami lakukan ini sesuai perintah Nabi”. Sedangkan yang lain akan berkomentar “seperti itukah” caranya memahami hadits Nabi yang ajarannya sangat indah dan menawan. Belum lagi betapa “ribetnya” ketika seorang Muallaf muda nan polos yang baru saja memahami indahnya ajaran Islam kala menyaksikan perbedaan tentang masalah “dahi” misalnya. Yang satunya terlihat menghitam, agak hitam, bahkan hitam pekat hingga tampak mengelupas kulit arinya, sedang yang satunya bening dan tampak bersih padahal mereka berdua sama-sama ahli shalat dan sujudnyapun sama-sama di tempat sujud.
Nah, disinilah kita sekali lagi harus arif dan bijak mendamaikan dua kutub itu. Tugas kita sebenarnya cukup ringan dan kalau perlu dengan sedikit tepukan pelan di pundaknya lalu dengan akrab mengatakan: “ya silahkan, yang penting sampean semua tetap bisa saling tersenyum dan bertegur sapa ketika bertemu”!.
Lebih unik lagi tentunya jika kita mengikutsertakan “kaum hawa” yang juga tidak mau ketinggalan porsinya dalam diskusi ringan ini. Tidak perlu jauh-jauh, tetangga muslimah kita contohnya, ia lebih menyukai kemeja berlengan pendek dengan paduan rok seukuran bawah betisnya tanpa sehelaipun kain menutupi rambutnya yang ikal dan wangi. Bibi kita beda lagi, kerudungnya berukuran sedang berpadu corak bunga-bunga dengan kemeja sedikit bermotif dan dengan paduan celana kain begitu anggunnya melangkah. Ibu kita ternyata juga agak beda, seumur hidup beliau tidak pernah pakai celana, jarik bermotif batik tulis selalu ia kenakan dengan pakaian era 80 an masih ia pertahankan.
Pendatang di sebelah rumah kita beda juga ternyata, isterinya selalu mengenakan jilbab lebar dengan berpakaian longgar atau kalau tidak berjenis terusan hingga hampir-hampir menjuntai ke tanah, masih ditambah celana sebagai dalamannya plus kaus kaki yang tak pernah lepas dari telapak kakinya. Sebelahnya lagi beda pula, seluruh tubuhnya terbalut kain hitam atau warna gelap dengan hanya dua matanya tampak terlihat, belum lagi yang selalu bercadar ditambah lagi sebagian mereka yang harus memakai kaca mata karena alasan kesehatanmatanya. Keponakan kita yang masih gadis dan sedang berkuliah di salah satu perguruan tinggi beda lagi, temannya yang seorang karyawati lebih beda lagi. Mereka berdua dengan manjanya yang khas dan sedikit menggoda kompak bilang pada anda, “modis dan simpel” sangat membantu dalam kegiatan dan aktifitas para muda yang enerjik serta terasa lebih praktis.
Pertanyaannya, bukankah mereka semua itu muslim dan muslimah?. Mereka adalah saudara, baik karena pertalian darah atau lainnya. Mereka juga tetangga kita, mereka juga bersyahadat, mereka juga sama-sama berhak masuk surga karena jaminan keimanan yang diucapkannya minimal dalam setiap tasyahud shalat lima waktu. Layakkah jika kita kemudian “bersitegang” dengan orang-orang di sekeliling kita yang memang nyata-nyata mengitari kita dan merekalah yang paling terdekat untuk membantu ketika kita ditimpa sebuah problem misalnya. Sekali lagi, ternyata sebagai manusia yang harus bersosialisasi dengan baik mau tidak mau kita harus “tenggang rasa”, terpaksa atau tidak terpaksa, beda prinsip atau tidak, entah itu latar belakang organisasi keagamaannya, ataupun bendera partainya sekalipun.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar